Selasa, 03 Januari 2012

Kejujuran dan Keberanian Penderita HIV Diperlukan

HL | 03 January 2012 | 04:10246 34  15 dari 17 Kompasianer menilai aktual

13255527641679196012
Ilustrasi/Admin (Shutterstock)
Kenyataan bahwa pengidap HIV di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun semakin mengkhawatirkan. Dengan jumlah sebanyak kurang lebih 186 ribu penderita, 88% di antaranya adalah kelompok usia produktif, hampir 50%-nya berada di rentang usia 20-29 tahun (sumber: di sini), dengan rasio perbandingan penderita pria : wanita adalah 2 : 1.
Penderita wanita dengan komposisi yang tinggi ini selalu disebutkan sebagai korban dari penyebaran HIV oleh kaum pria. Sex bebas tanpa alat pengaman menjadi biang keladi utama, walaupun dalam beberapa kasus lain HIV bisa menular lewat beberapa cara seperti lewat jarum suntik, terlebih pada pengguna Narkoba.
Sebagai orang awam kita mungkin akan sulit menentukan seseorang telah terinfeksi HIV hanya lewat ciri-ciri fisik saja. Bahkan ada kejadian dimana istri tidak tahu bahwa suami telah mengindap HIV terpaksa melayani suami karena “percaya”, yang pada akhirnya menyebabkan dia ketularan HIV. Ini adalah bagian tersulit bagi setiap individu, khususnya perempuan untuk meminta kejujuran suami atau pasangan apabila tertular HIV. Bahkan kesannya, lelaki dengan sengaja menyebarkannya tanpa pikir panjang.
Disisi lain, banyak lelaki mengelak akan tuduhan tersebut. Mereka kadang percaya diri bahwa perilaku seks yang dilakukan oleh mereka adalah aman, bahkan oleh lelaki yang suka “jajan”. Mereka mengaku dan percaya diri bahwa ketika memilih “wanita lain” dalam hubungan “terlarang” selalu waspada dan tidak sembrono. Padahal mereka sendiri tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menentukan atau mengetahui bahwa wanita tersebut telah terjangkit HIV.  Penggunaan pengaman, seperti kondom dipandang dapat mengurangi kenikmatan hubungan sex antar pasangan. Bukan saja pria yang mengakui hal tersebut, kadang juga wanita mengungkapkannya.
Belum lagi mereka yang terlibat narkoba atau biseks, kesadaran diri untuk menyalurkan hasrat sex tidak diperhatikan  sebagai sesuatu yang harus dijaga dengan aman. Apalagi kalau pengguna narkoba itu dalam keadaan “mabuk”, hal-hal pengaman sex akan dilupakan begitu saja. Sedangkankan bagi mereka yang biseks, merasa ingin terlihat wajar saat berhubungan dengan lawan jenisnya, sehingga keperkasaan dianggap kurang apabila menggunakan pengaman.
Mudahkah bagi seseorang mengakui atau paling tidak menyadari bahwa dirinya pengidap HIV? Mungkin banyak orang mengatakan, jangan bicara mudah atau tidaknya. Bicarakan dulu, apakah mereka mengerti dan tahu bahwa mereka mengindap HIV. Di sinilah persoalannya. Kebanyakan orang enggan untuk mengikuti test VCT (Voluntary Counseling and Testing), yaitu tes HIV yang dilakukan secara sukarela, bahkan mengambil darah untuk “check up” saja tidak berani karena ketakutan akan hasilnya nanti. Sebab, penyakit lainpun ditakuti dari hasil pemeriksaan darah, apalagi HIV.  Hal ini yang sering diabaikan.
Lalu apakah semua orang wajib memeriksakan diri untuk HIV? Semua pasti memiliki pendapat yang berbeda. Namun bagi saya, setiap orang dapat jujur pada diri sendiri, kalau merasa dirinya berperilaku menyimpang dalam hal sex atau sebagai pengguna narkoba suntik terutama, seharusnya berani untuk memeriksakan dirinya. Atau dengan dasar yang lain, seseorang yang merasa gangguan kesehatannya diakibatkan karena kekebalan tubuhnya menurun, kenapa harus tidak berani memeriksakan diri untuk test HIV.
Memang mudah meneriakan kejujuran dan keberanian, namun dalam prakteknya kita sendiri mungkin tidak berani melakukan dan mengakuinya. Semua itu kembali pada diri kita masing-masing. Ingat bahwa penderita HIV memiliki efek luas, ayah tertular maka akan berpotensi menularkan istri sampai anak-anak, dan seterusnya dari hubungan masing-masing anggota rumah tangga itu akan berdampak pula pada orang lain. Sungguh sebuah “pembunuhan” yang tanpa disadari.
13255379651475385568

Tidak ada komentar:

Posting Komentar